Penyebaran Penyakit Bakteri Pembuluh Kayu Cengkeh ( BPKC)
di Wilayah Kabupaten Pasuruan
Oleh : Rudi Hartono, SP.
UPPT Kab. Pasuruan
Penyakit BPKC merupakan salah satu penyakit yang paling merusak tanaman cengkeh karena dapat menyebabkan kehilangan hasil mencapai 10-15%. Penyebabnya adalah bakteri Pseudomonas syzygii. Penularan penyakit BPKC dari pohon sakit ke pohon sehat melalui vektor berupa serangga Hindola fulfa (di Sumatera) dan H. striata (di Jawa). Pola penyebaran penyakit ini umumnya mengikuti arah angin. Penularan penyakit ini dapat pula melalui alat-alat pertanian seperti golok, gergaji, sabit yang digunakan untuk memotong pohon sakit.
Penyebaran penyakit ini sudah hampir pada setiap kecamatan sentra tanaman cengkeh di Kabupaten pasuruan yaitu Kecamatan Prigen, Tutur, Purwodadi, Puspo, Pasrepan dan Purwosari. Serangan terbesar masih masih pada kecamatan Prigen akan tetapi akhir-akhir ini Kecamatan Tutur dan Purwodadi juga semakin meluas
Dinas Pertanian Kabupaten Pasuruan melaporkan tentang serangan BPKC di wilayahnya dan mengirimkan sampel bahan tanaman untuk diidentifikasi. Hasil identifikasi di laboratorium menunjukkan adanya bakteri Pseudomonas syzygii penyebab BPKC pada sampel yang dikirimkan.
Metode analisis adalah dengan melakukan pengamatan tanaman sampel secara morfologis. Sampel berupa batang kayu cengkeh dibelah secara melintang kemudian diamati, hasil pengamatan menunjukkan adanya berkas-berkas coklat keabu-abuan pada batang cengkeh tersebut yang merupakan salah satu gejala morfologis BPKC.
Gambar 1. Pengamatan pada batang cengkeh
Pengamatan selanjutnya adalah dengan mencelupkan contoh batang cengkeh bergejala di air untuk mengetahui ada tidaknya massa bakteri (Gambar 2) dan dikembangbiakkan serta dimurnikan di medium Nutrien Agar (NA).
Hasil pengamatan secara visual sesuai gejala pada tanaman sampel penyakit ini diduga disebabkan oleh bakteri Pseudomonas syzygii (Penyakit Sumatera). atau disebut juga Bakteri Pembuluh Kayu Cengkeh (BPKC).
Gb 2. Massa bakteri
Dari hasil identifikasi laboratorium tersebut dilakukan tindak lanjut dengan pemeriksaan di lapang tentang tingkat keparahan dan luas serangan yang telah terjadi. Hasil identifikasi laboratorium ini ditindaklanjuti dengan pemeriksaan di lapang yang menunjukkan bahwa serangan BPKC telah menyebabkan sekitar 200 pohon cengkeh (setara dengan 2 ha) mengalami mati bujang, sementara masih banyak lainnya yang sedang mengalami proses kematian seperti pucuk mengering atau mati separo.
Gb 3. Pohon cengkeh yang sudah mati Gb 4. Pohon cengkeh mati separo
Bakteri Pembuluh Kayu Cengkeh (BPKC) dikenal dengan nama “Penyakit Sumatera” (Sumatera Disease) atau penyakit Mati Bujang atau penyakit Mati Gadis (Reitsma, 1953; Hadiwijaya, 1954) muncul pertama kali tahun 1931, dan menimbulkan eksplosif di Sumatera Barat tahun 1960an (Djafarudin et, al).
Terdapat 2 tipe serangan yang paling sering terjadi di pertanaman cengkeh yaitu :
1. Mati Cepat atau Mati layu (wilt die back) daun daun gugur mendadak, ranting-ranting pada cabang dekat pucuk atau pada pucuk mati. Daun gugur dari atas ke bawah, terjadi selama beberapa minggu atau bulan. Kadang-kadang cabang seluruh tanaman muda layu secara mendadak, sehingga daun yang kering dan berwarna cokelat tetap melekat pada pohon untuk beberapa waktu. Jika ranting tanaman dipotong kemudian dicelupkan ke dalam air akan muncul massa bakteri berbentuk seperti kabut. Seluruh tanaman mati dalam waktu 2 tahun sejak permulaan timbulnya gejala.
2. Mati Lambat atau mati karena menua (senescence die back). Gejala terjadi secara bertahap, seluruh daun menguning lalu gugur bagian demi bagian. Daun dewasa menjadi tua sebelum waktunya. Masa gugur daun dapat berganti dengan pulihnya pohon, mati ranting dan cabang terjadi diseluruh pohon. Tanaman mati 3-6 tahun sesudah menampakkan gejala. Batang dan akar pohon yang mati secara lambat ini tidak mengeluarkan lendir bakteri jika di lembabkan. (Bennett et al., 1979)
Saran / Solusi Pengendalian untuk BPKC yang diberikan antara lain :
Saat ini pengendalian BPKC yang dlakukan di Kabupaten Pasuruan baru terbatas pada sanitasi dan eradikasi pada pohon yang sudah mati seluruhnya, tetapi pada pohon yang mati sebagian masih belum dilakukan pemotongan karena petani berharap masih dapat diselamatkan. Pengendalian secara kimiawi seperti penginfusan menggunakan antibiotika belum dilakukan karena setelah dihitung biaya yang dikeluarkan tidak seimbang dengan hasil yang didapatkan.
DAFTAR PUSTAKA
Bennet, C.P.A., P.Hut, and A. Asman (1979a), Aetiological in investigations into the mass deceline of cloves in West Sumatera. Kongrs. Nas V PFI, Malang, Jan. 1979, 11p. Djafaruddin (1983), Mengenal dan mengamati penyakir cacar daun cengkeh (CDC) di Sumatera Barat. Maj. Ilmiah Fak. Pert. Univ. Andalas, Padang 23, 83-96. Hadiwijaya, T. (1954), Arti ekonomi dari cengkeh untuk Indonesia . Tekn Pert. 3. 293 Reitsma, J. (1953), Penyakit Cengkeh. Tekn. Pert. 2, 404.
|
Komentar (0)
Belum ada komentar
Tulis Disini