PENGENDALIAN HAYATI KOMODITAS PERKEBUNAN DI KABUPATEN PASURUAN - Kabupaten Pasuruan

PENGENDALIAN HAYATI KOMODITAS PERKEBUNAN DI KABUPATEN PASURUAN

1002x dibaca    2021-06-16 10:42:42    Administrator

PENGENDALIAN HAYATI KOMODITAS PERKEBUNAN

DI KABUPATEN PASURUAN

Oleh:

Rudi Hartono, SP.

ULPPTP Kabupaten Pasuruan

Peningkatan kebutuhan pangan nasional dengan laju 1-2%/tahun, terutama disebabkan oleh pertambahan penduduk yang saat ini sudah mencapai lebih dari 220 juta jiwa. Upaya peningkatan produksi pangan harus diimbangi dengan peningkatan pendapatan petani, kemudahan aksesibilitas konsumen, dan aktualisasi keamanan pangan. Sebaliknya, komoditas non-pangan yang umumnya lebih bersifat komersial dituntut untuk mempunyai daya saing yang tinggi agar mampu meraih pangsa pasar global secara optimal. Oleh karena itu, produktivitas tinggi, efisiensi sistem produksi serta peningkatan mutu dan nilai tambahproduk menjadi tumpuan utama revitalisasi pertanian.

Sektor pertanian menyumbang 18% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) dan menjadi sumber pendapatan bagi lebih dari 45% penduduk. Selain tanaman pangan dan sayuran yang luas arealnya mencapai lebih dari 16,30 juta Ha, komoditas perkebunan dan buah-buahan dengan luas tanam lebih dari 25 juta Ha merupakan tulang punggung dan menjadi salah satu tumpuan ekonomi dan pembangunan nasional karena selain diperlukan untuk mendukung pengembangan industri dalam negeri juga berperan penting dalam komoditas ekspor.

Meningkatnya kesadaran masyarakat tentang keamanan pangan, kesehatan, lingkungan, dan gizi berdampak terhadap peningkatan permintaan produk pertanian yang bersih dan aman dikonsumsi.

Di sektor pertanian ada tiga isu penting yang terkait dengan pelestarian sumber daya alam dan lingkungan, yaitu 1). Dampak penggunaan berbagai input pertanian terhadap produk, lahan, dan lingkungan, 2). Dampak sistem usaha tani terhadap emisi gas rumah kaca, dan 3). Dampak industri, permukiman dan perkotaan terhadap produktivitas lahan dan kelestarian lingkungan pertanian.

Salah satu alternatif pendekatan untuk mewujudkan pertanian berkelanjutan adalah pertanian organik. Ruang lingkup pertanian organik mencakup kesehatan tanah, keamanan pangan dan manfaat ekonomi. Sistem manajemen produksi pertanian, bertujuan untuk meningkatkan keanekaragaman hayati, siklus biologi, dan aktifitas biologis tanah.

Pengendalian hama, merupakan salah satu aspek penting dalam pertanian organik, dalam mewujudkan keamanan lingkungan dan keberlanjutan. Oleh karena itu dibutuhkan pendekatan secara holistik terhadap seluruh sistem pertanian dalam penentuan taktik pengendalian yang akan dipilih. Komponen pengendalian adalah (1) pengendalian budidaya, (2) pengendalian fisik, (3) pestisida nabati, (4) pengendalian hayati, (5) tanaman perangkap dan (6) peraturan pendukung

Pertanian Berkelanjutan

Menurut Rizal dan Mirza (2014) peningkatan populasi manusia menimbulkan tekanan terhadap sumber daya lahan yang terbatas karena tuntutan untuk memenuhi kebutuhan pangan, serat dan bahan bakar. Aktivitas budidaya pertanian intensif berbasis agroinput kimia guna memenuhi kebutuhan tersebut justru telah meningkatkan ancaman terhadap lingkungan, sumberdaya alam, dan kualitas hidup petani.

Oleh karena itu budidaya dalam upaya meningkatkan produktivitas pertanian harus dilakukan dengan pendekatan yang logis-realistis yaitu pertanian berkelanjutan dengan prinsip pemenuhan kebutuhan saat ini tidak boleh mengorbankan kebutuhan generasi mendatang.

Beberapa masalah yang muncul akibat praktek budidaya pertanian intensif berbasis agroinput kimia antara lain (1) Produktivitas pertanian memasuki spiral negatif akibat resistensi dan kemunculan hama sekunder, (2) Kontaminasi lingkungan seperti (a) Masalah kesehatan akibat bioakumulasi DDT dan organofosfat (Ops) yang berdampak toksisitas akut pada rantai makanan, (b) Gangguan terhadap aktivitas mikroba tanah, (c) Bahan aktif pestisida dengan spektrum luas dapat menurunkan keanekaragaman hayati

Menurut Sudirja (2014), pertanian berkelanjutan (sustainable agriculture) adalah pemanfaatan sumber daya yang dapat diperbaharui (renewable resources) dan sumber daya tidak dapat diperbaharui (unrenewable resources) untuk proses produksi pertanian dengan menekan dampak negatif terhadap lingkungan seminimal mungkin.

Keberlanjutan yang dimaksud meliputi : penggunaan sumberdaya, kualitas dan kuantitas produksi, serta lingkungannya. Proses produksi pertanian yang berkelanjutan akan lebih mengarah pada penggunaan produk hayati yang ramah terhadap lingkungan

Pertanian organik merupakan salah satu bagian pendekatan pertanian berkelanjutan, yang di dalamnya meliputi berbagai teknik sistem pertanian, seperti tumpangsari (intercropping), penggunaan mulsa, penanganan tanaman dan pasca panen. Pertanian organik memiliki ciri khas dalam hukum dan sertifikasi, larangan penggunaan bahan sintetik, serta pemeliharaan produktivitas tanah (Sudirja, 2008).

Elemen dari pertanian keberlanjutan adalah (a) konservasi tanah, (b) keragaman tanaman, (c) pengelolaan hara, (d) pengendalian hama terpadu, (e) tanaman penutup tanah, (f) penggembalaan bergiliran, (g) kualitas dan konservasi air, (h) agroforestri, dan (i) Pemasaran (Rao et al., 2003).

Konsep Usaha Tani Organik

Keberhasilan pembangunan pertanian selama ini telah memberikan dukungan yang sangat tinggi terhadap pemenuhan kebutuhan pangan rakyat Indonesia, namun demikian disadari bahwa dibalik keberhasilan tersebut terdapat kelemahan kelemahan yang perlu diperbaiki.

Produksi yang tinggi yang telah dicapai banyak didukung oleh teknologi yang memerlukan input (masukan) bahan-bahan anorganik yang tinggi terutama bahan kimia pertanian seperti pupuk urea, TSP/SP-36, KCl, pestisida, herbisida, dan produk-produk kimia lainnya yang berbahaya bagi kesehatan dengan dosis yang tinggi secara terus-menerus, terbukti menimbulkan banyak pencemaran yang dapat menyumbang degradasi fungsi lingkungan dan perusakan sumberdaya alam, serta penurunan daya dukung lingkungan.

Adanya kesadaran akan akibat yang ditimbulkan dampak tersebut, perhatian masyarakat dunia perlahan mulai bergeser ke pertanian yang berwawasan lingkungan.

Dewasa ini masyarakat sangat peduli terhadap alam dan kesehatan, maka muncullah teknologi alternatif lain, yang dikenal dengan “pertanian organik”, “usaha tani organik”, “pertanian alami”, atau “pertanian berkelanjutan masukan rendah”. Pengertian tersebut pada dasarnya mempunyai prinsip dan tujuan yang sama, yaitu untuk melukiskan sistem pertanian yang bergantung pada produk-produk organik dan alami, serta secara total tidak termasuk penggunaan bahan-bahan sintetik (Sudirja, 2008)

Beberapa Pendekatan Kegiatan Yang Menunjang Pertanian Berkelanjutan

Menurut Sudirja (2014) beberapa kegiatan yang diharapkan dapat menunjang dan memberikan kontribusi dalam meningkatkan keuntungan produktivitas pertanian dalam jangka panjang, meningkatkan kualitas lingkungan, serta meningkatkan kualitas hidup

masyarakat pedesaan adalah sebagai berikut:

  • Pengendalian Hama Terpadu
  • Sistem Rotasi dan Budidaya Rumput
  • Konservasi Lahan
  • Menjaga Kualitas Air/Lahan Basah
  • Tanaman Pelindung
  • Diversifikasi Lahan dan Tanaman
  • Pengelolaan Nutrisi Tanaman
  • Agroforestry (wana tani)
  • Pemasaran

Pengendalian Hama Dan Penyakit Terpadu

Hama adalah setiap organisme yang mengurangi ketersediaan, kualitas atau nilai sumber daya bagi kepentingan manusia termasuk hasil panen (Bailey et al., 2010). Hama dalam pengertian yang luas, adalah hewan atau tanaman yang menyebabkan bahaya atau kerusakan terhadap manusia, hewan ternaknya, tanamannya meskipun hanya sekedar mengganggu dapat dikategorikan sebagai hama.

Hama tanaman dalam perspektif pertanian termasuk (1) patogen tanaman (jamur, bakteri, virus, nematoda dan lainnya), (2) gulma, (3) invertebrata (terutama serangga, tungau dan moluska) dan (4) sejumlah kecil spesies vertebrata. Sekitar 67.000 spesies hama telah dilaporkan menjadi kendala yang signifikan terhadap produksi pertanian. Kerusakan tanaman akibat hama dapat terjadi secara langsung (yaitu tanaman dimakan oleh hama) atau tidak langsung (akibat persaingan nutrisi dan sebagai vektor penyakit tanaman) (Bailey et al., 2010).

Pengendalian hama merupakan salah satu aspek penting dalam pertanian organik yang membutuhkan suatu pendekatan holistik terhadap seluruh sistem pertanian, antara lain (1) Pengendalian budidaya; (2) Pengendalian fisik; (3) Pengendalian biologi; (4) Tanaman perangkap (Companion planting); (5) Peraturan pendukung (Legislasi) (Rizal dan Mirza, 2014).

Tumbuhan merupakan gudang berbagai senyawa kimia yang kaya akan kandungan bahan aktif, antara lain produk metabolit sekunder yang fungsinya dalam proses metabolisme tumbuhan kurang jelas.

Kelompok senyawa ini berperan penting dalam proses berinteraksi atau berkompetisi, termasuk melindungi diri dari gangguan pesaingnya. Produk metabolit sekunder dapat dimanfaatkan sebagai bahan aktif pestisida nabatiPestisida nabati tidak hanya mengandung satu jenis bahan aktif (single active ingredient), tetapi beberapa jenis bahan aktif (multiple active ingredient).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa beberapa jenis pestisida nabati cukup efektif terhadap beberapa jenis hama, baik hama di lapangan, rumah tangga (nyamuk dan lalat), maupun di gudang. Contoh bahan untuk pestisida nabati antara lain seperti pestisida dari biji bengkuang, akar tuba, abu serai dapur, kayu manis, mimba, mindi dan brotowali (Kardinan, 2011).

Pembuatan Pestisida Nabati oleh petani

Perbanyakan cendawan Beauveria bassiana dan Pengendalian hama PBKo secara biologis

PEMBAHASAN

Dewasa ini, sebagian besar petani bergantung pada pestisida kimia dalam pengelolaan hama. Pestisida kimia memiliki efisiensi tinggi, biaya rendah, dan aplikasi yang mudah, tetapi memiliki dampak negatif yang signifikan. Efek negatif penggunaan pestisida antara lain dapat terjadi toksisitas akut pada rantai makanan atau efek negatif terhadap ekosistem.

Efek negatif akibat penggunaan pestisida kimia terhadap ekosistem adalah karena dapat membunuh organisme bukan sasaran seperti gangguan terhadap aktivitas mikroba tanah. Bahan aktif pestisida kimia sintetik mempunyai spektrum luas (membunuh berbagai spesies hama) menguntungkan bagi petani dan produsen tetapi dapat menurunkan keanekaragaman organisme non-hama.

Ketika pestisida membunuh hama dan musuh alaminya, pengaruhnya tergantung pada spektrum aktivitas pestisida. Hama sekunder dapat terjadi ketika organisme yang sebelumnya tidak berbahaya karena jumlahnya sedikit, akibat aksi musuh alami, berubah menjadi masalah karena populasinya meningkat tanpa musuh alami.

Pestisida kimia tidak selalu efektif membunuh hama tetapi dapat menimbulkan masalah jika penggunaan tidak tepat. Penggunaan pestisida yang tidak tepat dapat menyebabkan efek negatif yang mengurangi efektivitas dalam mengendalikan hama sasaran. Resiko resistensi (ketahanan terhadap pestisida) meningkat jika pestisida yang sama dipakai berulang. Pestisida dapat memiliki toksisitas terhadap mamalia, tergantung pada tingkat paparan.

Biopestisida adalah agen biologi yang diproduksi dari mikroorganisme hidup atau produk alami untuk kontrol tanaman, terdiri atas (1) mikroorganisme (bakteri, jamur, virus dan protozoa); (2) biokimia (produk tanaman seperti minyak, senyawa yang disintesis oleh organisme lain seperti kitin dan kitosan); (3) semiokemikal (feromon serangga digunakan dalam perangkap atau untuk kawin gangguan)(Bailey et al, 2010).

Pestisida yang diizinkan adalah yang alami (non sintetik), antara lain (1) mineral (tanah diatom, soda kue), (2) agensia hayati (Bacillus thuringiensis, Beauveria bassiana), (3) pestisida nabati (rotenon, mimba, piretrum) dan (4) metabolit sekunder dari APH (Rizal dan Mirza, 2014).

PEMANFAATAN METABOLIT SEKUNDER PADA TANAMAN CENGKEH

Kelompok tani yang mencoba menerapkan pengendalian OPT secara hayati adalah kelompok tani Tunas Mekarsari Sejahtera di Desa Kalipucang Kecamatan Tutur.

Komoditas utama di kelompok tani adalah kopi dan cengkeh. Cengkeh di desa tersebut banyak sekali yang terserang penyakit BPKC (bakteri pembuluh kayu cengkeh). Selain penyakit bpkc ini tanaman cengkeh juga banyak yang terserang OPT dari golongan serangga hama yaitu penggerek batang dan rayap.

Kelompok Tani Tunas Mekarsari Sejahtera mencoba memanfaatkan metabolit sekunder APH dari golongan jamur antagonis Trichoderma sp., jamur entomopatogen Beauveria bassiana dan golongan bakteri Pseudomonas fluorescens. Metabolit sekunder diaplikasikan menggunakan metode Biopori.

Menurut Soesanto (2016), metabolit sekunder dalam tanaman selain mampu mengendalikan OPT juga berperan dalam memperlambat perkecambahan spora, melindungi pertumbuhan awal tanaman, sebagai pelindung tanaman dari dalam, dapat memperkuat jaringan, menyediakan pasokan nutrisi serta merangsang dan menghasilkan pengatur tumbuh.

Tanaman cengkeh terserang penyakit BPKC

Aplikasi metabolit sekunder

Hasil aplikasi metabolit sekunder pada tanaman cengkeh

Setelah aplikasi selama 3 kali dalam waktu 10 minggu, belum menampakkan hasil terjadinya pengurangan keparahan ataupun insidensi penyakit bpkc. Hanya didapatkan pada beberapa pohon sampel telah ada daun-daun cengkeh yang bersemi. Namun secara keseluruhan pada pohon-pohon yang menunjukkan gejala terserang bpkc pada cabang yang kering belum ada daun yang bersemi. Daun yang bersemi terdapat pada cabang yang memang belum kering dan belum mengalami kerontokkan daun.

Hal ini mungkin disebabkan perlu penambahan konsentrasi ataupun penambahan waktu aplikasi metabolit sekunder. Juga perlu adanya tindakan pengendalian lain untuk mendukungnya antara lain dibarengi dengan pemupukan, pemberian mulsa dari daun-daun cengkeh yang berguguran ataupun dengan perubahan perilaku petani dalam penggunaan alat-alat pertaniannya.

Upaya penerapan kaidah-kaidah keberlanjutan pada prinsipnya tergantung dari persepsi dan partisipasi petani sebagai pelaku yang menentukan dalam pengelolaan usaha taninya. Namun disadari benar bahwa petani pada umumnya masih dalam kondisi serba kekurangan sehingga pemenuhan kebutuhan jangka pendek lebih diprioritaskan dibandingkan persoalan jangka panjang seperti penerapan konservasi usaha taninya.

Berdasarkan hal tersebut maka petani perlu mendapat informasi, pembinaan, dan bimbingan dari pemerintah melalui program pemberdayaan dan penyuluhan. Pendekatan baik dari sisi perubahan sikap mental maupun perilaku ekonomi rumah tangga petani perlu dilakukan (Kadir, 2016).

KESIMPULAN

Beberapa petani perkebunan di wilayah Kabupaten Pasuruan telah menerapkan pengendalian hayati dalam pengelolaan OPT yang menyerang lahannya. Ada yang telah berhasil hingga mendapatkan sertifikat organik, ada juga yang belum menampakkan hasil nyata.

Namun, semua itu perlu apresiasi dan dukungan yang lebih keras lagi baik dari petani sebagai pemilik lahan, petugas dari instansi terkait dan juga pemerintah. Sehingga diharapkan akan lebih banyak lagi petani-petani lain yang menerapkan pengendalian hayati dalam pengelolaan OPT di lahannya sehingga akan tercipta suatu pertanian yang berkelanjutan.

Komentar (0)

  1. Belum ada komentar


Tulis Disini