PENERAPAN PENGENDALIAN HAYATI KOMODITAS PERKEBUNAN DI KABUPATEN PASURUAN - Kabupaten Pasuruan

PENERAPAN PENGENDALIAN HAYATI KOMODITAS PERKEBUNAN DI KABUPATEN PASURUAN

68x dibaca    2023-06-19 14:10:48    Administrator

c837a64074a8e678350cd90581dca515.JPG

PENERAPAN PENGENDALIAN HAYATI KOMODITAS PERKEBUNAN DI KABUPATEN PASURUAN

Oleh:

Rudi Hartono, SP.

ULPPTP Kabupaten Pasuruan

1. Pendahuluan

Komoditas non-pangan yang umumnya lebih bersifat komersial dituntut untuk mempunyai daya saing yang tinggi agar mampu meraih pangsa pasar global secara optimal. Oleh karena itu, produktivitas tinggi, efisiensi sistem produksi serta peningkatan mutu dan nilai tambahproduk menjadi tumpuan utama revitalisasi pertanian.

Sektor pertanian menyumbang 18% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) dan menjadi sumber pendapatan bagi lebih dari 45% penduduk. Selain tanaman pangan dan sayuran yang luas arealnya mencapai lebih dari 16,30 juta Ha, komoditas perkebunan dan buah-buahan dengan luas tanam lebih dari 25 juta Ha merupakan tulang punggung dan menjadi salah satu tumpuan ekonomi dan pembangunan nasional karena selain diperlukan untuk mendukung pengembangan industri dalam negeri juga berperan penting dalam komoditas ekspor.

Meningkatnya kesadaran masyarakat tentang keamanan pangan, kesehatan, lingkungan, dan gizi berdampak terhadap peningkatan permintaan produk pertanian yang bersih dan aman dikonsumsi.

Di sektor pertanian ada tiga isu penting yang terkait dengan pelestarian sumber daya alam dan lingkungan, yaitu 1). Dampak penggunaan berbagai input pertanian terhadap produk, lahan, dan lingkungan, 2). Dampak sistem usaha tani terhadap emisi gas rumah kaca, dan 3). Dampak industri, permukiman dan perkotaan terhadap produktivitas lahan dan kelestarian lingkungan pertanian.

Salah satu alternatif pendekatan untuk mewujudkan pertanian berkelanjutan adalah pertanian organik. Ruang lingkup pertanian organik mencakup kesehatan tanah, keamanan pangan dan manfaat ekonomi. Sistem manajemen produksi pertanian, bertujuan untuk meningkatkan keanekaragaman hayati, siklus biologi, dan aktifitas biologis tanah.

Pengendalian hama, merupakan salah satu aspek penting dalam pertanian organik, dalam mewujudkan keamanan lingkungan dan keberlanjutan. Oleh karena itu dibutuhkan pendekatan secara holistik terhadap seluruh sistem pertanian dalam penentuan taktik pengendalian yang akan dipilih. Komponen pengendalian adalah (1) pengendalian budidaya, (2) pengendalian fisik, (3) pestisida nabati, (4) pengendalian hayati, (5) tanaman perangkap dan (6) peraturan pendukung

2. Pertanian Berkelanjutan

Menurut Rizal dan Mirza (2014) peningkatan populasi manusia menimbulkan tekanan terhadap sumber daya lahan yang terbatas karena tuntutan untuk memenuhi kebutuhan pangan, serat dan bahan bakar. Aktivitas budidaya pertanian intensif berbasis agroinput kimia guna memenuhi kebutuhan tersebut justru telah meningkatkan ancaman terhadap lingkungan, sumberdaya alam, dan kualitas hidup petani.

Oleh karena itu budidaya dalam upaya meningkatkan produktivitas pertanian harus dilakukan dengan pendekatan yang logis-realistis yaitu pertanian berkelanjutan dengan prinsip pemenuhan kebutuhan saat ini tidak boleh mengorbankan kebutuhan generasi mendatang.

Beberapa masalah yang muncul akibat praktek budidaya pertanian intensif berbasis agroinput kimia antara lain (1) Produktivitas pertanian memasuki spiral negatif akibat resistensi dan kemunculan hama sekunder, (2) Kontaminasi lingkungan seperti (a) Masalah kesehatan akibat bioakumulasi DDT dan organofosfat (Ops) yang berdampak toksisitas akut pada rantai makanan, (b) Gangguan terhadap aktivitas mikroba tanah, (c) Bahan aktif pestisida dengan spektrum luas dapat menurunkan keanekaragaman hayati

Menurut Sudirja (2014), pertanian berkelanjutan (sustainable agriculture) adalah pemanfaatan sumber daya yang dapat diperbaharui (renewable resources) dan sumber daya tidak dapat diperbaharui (unrenewable resources) untuk proses produksi pertanian dengan menekan dampak negatif terhadap lingkungan seminimal mungkin.

Keberlanjutan yang dimaksud meliputi : penggunaan sumberdaya, kualitas dan kuantitas produksi, serta lingkungannya. Proses produksi pertanian yang berkelanjutan akan lebih mengarah pada penggunaan produk hayati yang ramah terhadap lingkungan

Pertanian organik merupakan salah satu bagian pendekatan pertanian berkelanjutan, yang di dalamnya meliputi berbagai teknik sistem pertanian, seperti tumpangsari (intercropping), penggunaan mulsa, penanganan tanaman dan pasca panen. Pertanian organik memiliki ciri khas dalam hukum dan sertifikasi, larangan penggunaan bahan sintetik, serta pemeliharaan produktivitas tanah (Sudirja, 2008).

Rizal dan Mirza (2014) mengemukakan bahwa karakteristik pertanian berkelanjutan antara lain (a) pemeliharaan jangka panjang secara alami sumber daya dan produktivitas pertanian, (b) meminimalkan dampak merugikan terhadap lingkungan, (c) keuntungan ekonomi yang memadai bagi petani, (d) produksi tanaman yang optimal dengan input bahan kimia diminimalkan, (e) pemuasan kebutuhan manusia terhadap pangan dan pendapatan, dan (f) pemenuhan kebutuhan sosial keluarga dan kelompok tani.

2.1. Konsep Usaha Tani Organik

Keberhasilan pembangunan pertanian selama ini telah memberikan dukungan yang sangat tinggi terhadap pemenuhan kebutuhan pangan rakyat Indonesia, namun demikian disadari bahwa dibalik keberhasilan tersebut terdapat kelemahan kelemahan yang perlu diperbaiki.

Produksi yang tinggi yang telah dicapai banyak didukung oleh teknologi yang memerlukan input (masukan) bahan-bahan anorganik yang tinggi terutama bahan kimia pertanian seperti pupuk urea, TSP/SP-36, KCl, pestisida, herbisida, dan produk-produk kimia lainnya yang berbahaya bagi kesehatan dengan dosis yang tinggi secara terus-menerus, terbukti menimbulkan banyak pencemaran yang dapat menyumbang degradasi fungsi lingkungan dan perusakan sumberdaya alam, serta penurunan daya dukung lingkungan.

Adanya kesadaran akan akibat yang ditimbulkan dampak tersebut, perhatian masyarakat dunia perlahan mulai bergeser ke pertanian yang berwawasan lingkungan.

Dewasa ini masyarakat sangat peduli terhadap alam dan kesehatan, maka muncullah teknologi alternatif lain, yang dikenal dengan “pertanian organik”, “usaha tani organik”, “pertanian alami”, atau “pertanian berkelanjutan masukan rendah”. Pengertian tersebut pada dasarnya mempunyai prinsip dan tujuan yang sama, yaitu untuk melukiskan sistem pertanian yang bergantung pada produk-produk organik dan alami, serta secara total tidak termasuk penggunaan bahan-bahan sintetik (Sudirja, 2008)

2.2. Pengendalian Hama Dan Penyakit Terpadu

Hama adalah setiap organisme yang mengurangi ketersediaan, kualitas atau nilai sumber daya bagi kepentingan manusia termasuk hasil panen (Bailey et al., 2010). Hama dalam pengertian yang luas, adalah hewan atau tanaman yang menyebabkan bahaya atau kerusakan terhadap manusia, hewan ternaknya, tanamannya meskipun hanya sekedar mengganggu dapat dikategorikan sebagai hama.

Hama tanaman dalam perspektif pertanian termasuk (1) patogen tanaman (jamur, bakteri, virus, nematoda dan lainnya), (2) gulma, (3) invertebrata (terutama serangga, tungau dan moluska) dan (4) sejumlah kecil spesies vertebrata. Sekitar 67.000 spesies hama telah dilaporkan menjadi kendala yang signifikan terhadap produksi pertanian. Kerusakan tanaman akibat hama dapat terjadi secara langsung (yaitu tanaman dimakan oleh hama) atau tidak langsung (akibat persaingan nutrisi dan sebagai vektor penyakit tanaman) (Bailey et al., 2010).

Pengendalian hama merupakan salah satu aspek penting dalam pertanian organik yang membutuhkan suatu pendekatan holistik terhadap seluruh sistem pertanian, antara lain (1) Pengendalian budidaya; (2) Pengendalian fisik; (3) Pengendalian biologi; (4) Tanaman perangkap (Companion planting); (5) Peraturan pendukung (Legislasi) (Rizal dan Mirza, 2014).

Kelompok senyawa pada tumbuhan berperan penting dalam proses berinteraksi atau berkompetisi, termasuk melindungi diri dari gangguan pesaingnya. Produk metabolit sekunder dapat dimanfaatkan sebagai bahan aktif pestisida nabati Pestisida nabati tidak hanya mengandung satu jenis bahan aktif (single active ingredient), tetapi beberapa jenis bahan aktif (multiple active ingredient).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa beberapa jenis pestisida nabati cukup efektif terhadap beberapa jenis hama, baik hama di lapangan, rumah tangga (nyamuk dan lalat), maupun di gudang. Contoh bahan untuk pestisida nabati antara lain seperti pestisida dari biji bengkuang, akar tuba, abu serai dapur, kayu manis, mimba, mindi dan brotowali (Kardinan, 2011).

Efek negatif akibat penggunaan pestisida kimia terhadap ekosistem adalah karena dapat membunuh organisme bukan sasaran seperti gangguan terhadap aktivitas mikroba tanah. Bahan aktif pestisida kimia sintetik mempunyai spektrum luas (membunuh berbagai spesies hama) menguntungkan bagi petani dan produsen tetapi dapat menurunkan keanekaragaman organisme non-hama.

Pestisida kimia tidak selalu efektif membunuh hama tetapi dapat menimbulkan masalah jika penggunaan tidak tepat. Penggunaan pestisida yang tidak tepat dapat menyebabkan efek negatif yang mengurangi efektivitas dalam mengendalikan hama sasaran. Resiko resistensi (ketahanan terhadap pestisida) meningkat jika pestisida yang sama dipakai berulang. Pestisida dapat memiliki toksisitas terhadap mamalia, tergantung pada tingkat paparan.

Biopestisida adalah agen biologi yang diproduksi dari mikroorganisme hidup atau produk alami untuk kontrol tanaman, terdiri atas (1) mikroorganisme (bakteri, jamur, virus dan protozoa); (2) biokimia (produk tanaman seperti minyak, senyawa yang disintesis oleh organisme lain seperti kitin dan kitosan); (3) semiokemikal (feromon serangga digunakan dalam perangkap atau untuk kawin gangguan)(Bailey et al, 2010).

Pestisida yang diizinkan adalah yang alami (non sintetik), antara lain (1) mineral (tanah diatom, soda kue), (2) agensia hayati (Bacillus thuringiensis, Beauveria bassiana), (3) pestisida nabati (rotenon, mimba, piretrum) dan (4) metabolit sekunder dari APH (Rizal dan Mirza, 2014).

A. PEMANFAATAN PESTISIDA NABATI PADA TANAMAN KOPI

Komoditas utama di Desa Tutur adalah kopi. Petani di desa ini umumnya selain memelihara kopi juga durian, kelapa, cengkeh dan pisang . Namun komoditas utama adalah kopi.

Sebelum mengikuti program desa pertanian organik, kegiatan pengendalian OPT kopi cenderung menggunakan bahan kimia, pun pupuk yang digunakan selain pupuk kandang juga pupuk kimia.

Meskipun kelompok tani ini sudah pernah juga mengikuti Sekolah Lapang PHT, namun karena hasil pengendalian OPT dengan pestisida kimia lebih cepat terlihat hasilnya maka petani cenderung tetap menggunakannya.

Kondisi demikian cukup menyulitkan para pendamping lapang untuk mengubah pola pikir dari petani. Para petugas pendamping harus bekerja ekstra untuk menyadarkan petani secara perlahan akibat atau bahaya dari penggunaan pestisida serta pupuk kimia ini.

Setelah mengikuti program desa organik, sedikit demi sedikit petani di Kelompok Tani Manunggaling Karso telah beralih ke budidaya kopi organik dan telah menghasilkan panen kopi organik, bahkan telah mendapatkan sertifikat organik dari LSO yaitu UTZ, EU dan SNI.

Pengelolaan OPT yang mereka lakukan adalah dengan membuat pestisida nabati. Petani di Manunggaling Karso lebih memilih menggunakan pestisida nabati dari pada menggunakan APH karena mereka mudah mendapatkan bahan-bahannya, selain itu juga lebih mudah dalam pembuatannya, risiko terjadinya kontaminasi juga kecil.

Namun, pestisida nabati hanya menyelesaikan masalah mengenai OPT dari golongan serangga hama, untuk OPT dari golongan penyakit atau patogen belum menampakkan hasilnya.

Di sisi lain karena petani di Kelompok Tani Manunggaling Karso telah menerapkan pola pertanian secara organik, maka pengendalian penyakit kopi yaitu busuk buah kopi lebih ke metode kultur teknis yaitu melakukan pemangkasan secara rutin untuk mengurangi kelembaban kebun, melakukan sanitasi dan pemanenan pada buah buah yang terserang serta menimbunnya di dalam tanah.

B. PEMANFAATAN JAMUR Beauveria bassiana PADA TANAMAN KOPI

Kelompok tani berikutnya yang telah menerapkan pengendalian hayati adalah Kelompok Tani Suka Makmur. yang diketuai oleh Bapak Lasimun. Kelompok tani “Tani Suka Makmur” memiliki luasan areal pertanaman kopi sekitar 28 Ha. Luasan yang sudah berproduksi 26 Ha dengan jumlah tanaman 26.000 batang batang sudah berproduksi.

Kelompok tani ini cukup aktif dalam melakukan pengendalian hayati. Salah satu anggota kelompok tani ada yang rajin membuat pestisida nabati dan pupuk cair. Pestisida nabatinya antara lain dari daun mindi, buah mahoni, daun mimba, sedangkan pupuk organik cair berasal dari air cucian beras yang kemudian ditambahkan seresah dedaunan yang telah dikeringkan dan dihaluskan kemudian disaring.

Kelompok tani ini mencoba melakukan pengendalian terhadaphama penggerek buah kopi (PBKo) dengan menggunakan dari golongan jamur entomopatogen Beauveria bassiana. Aplikasi cendawan ini dengan cara penyemprotan ke pohon-pohon kopi beserta buah kopinya.

Pada pohon-pohon kopi tampak setelah aplikasi cendawan Beauveria bassiana sebanyak tiga kali ulangan nampak pada buah yang sudah mulai mengeras tidak terserang hama PBKo. Hal ini disebabkan umumnya cendawan tersebut sangat efektif mengatasi atau mengendalikan hama penggerek pada tanaman kopi,.

Komoditas utama di kelompok tani adalah kopi. Kopi di desa tersebut banyak sekali yang terserang penyakit Penggerek Buah Kopi (Hipothenemus hampei). Selain hama ini tanaman kopi juga banyak yang terserang OPT serangga hama lainnya yaitu penggerek cabang dan penggerek batang.

Setelah aplikasi selama 3 kali dalam waktu 10 minggu, belum menampakkan hasil terjadinya pengurangan keparahan ataupun insidensi hama PBKo. Hanya didapatkan pada beberapa pohon sampel yang terbebas dari hama PBKo. Namun secara keseluruhan pada pohon-pohon yang menunjukkan gejala terserang PBKo pada pohon secara keseluruhan

Hal ini mungkin disebabkan perlu penambahan konsentrasi ataupun penambahan waktu aplikasi cendawan Beauveria bassiana. Juga perlu adanya tindakan pengendalian lain untuk mendukungnya antara lain dibarengi dengan pemupukan, pemberian mulsa dari daun-daun cengkeh yang berguguran ataupun dengan perubahan perilaku petani dalam penggunaan alat-alat pertaniannya.

Upaya penerapan kaidah-kaidah keberlanjutan pada prinsipnya tergantung dari persepsi dan partisipasi petani sebagai pelaku yang menentukan dalam pengelolaan usaha taninya. Namun disadari benar bahwa petani pada umumnya masih dalam kondisi serba kekurangan sehingga pemenuhan kebutuhan jangka pendek lebih diprioritaskan dibandingkan persoalan jangka panjang seperti penerapan konservasi usaha taninya.

Berdasarkan hal tersebut maka petani perlu mendapat informasi, pembinaan, dan bimbingan dari pemerintah melalui program pemberdayaan dan penyuluhan. Pendekatan baik dari sisi perubahan sikap mental maupun perilaku ekonomi rumah tangga petani perlu dilakukan.

3. KESIMPULAN

Beberapa petani perkebunan di wilayah Kabupaten Pasuruan telah menerapkan pengendalian hayati dalam pengelolaan OPT yang menyerang lahannya. Ada yang telah berhasil hingga mendapatkan sertifikat organik, ada juga yang belum menampakkan hasil nyata.

Namun, semua itu perlu apresiasi dan dukungan yang lebih keras lagi baik dari petani sebagai pemilik lahan, petugas dari instansi terkait dan juga pemerintah. Sehingga diharapkan akan lebih banyak lagi petani-petani lain yang menerapkan pengendalian hayati dalam pengelolaan OPT di lahannya sehingga akan tercipta suatu pertanian yang berkelanjutan.

Komentar (0)

  1. Belum ada komentar


Tulis Disini